KOMPAS.com
— Solo terkenal dengan kampung batiknya, Laweyan. Toko-toko penjual
batik di sepanjang jalan itu sekaligus menjadi rumah bagi penjualnya.
Pengrajin batik dan penjualnya menjadi satu, berjejeran di sepanjang
jalan Kampung Laweyan. Di sini pengunjung bisa berbelanja dan melihat
juga cara dan proses pembuatan batik.
Jakarta ternyata juga
memiliki Kampung Batik. Meski tak sebesar Laweyan, Jakarta telah mulai
membangun kampung batiknya sendiri sejak Mei 2011. Kampung batik yang
terletak di Palbatu, Tebet, Jakarta Selatan, ini bahkan telah dua kali
tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).
Rekor MURI pertama
diperoleh pada 2011 karena Palbatu memiliki jalan terpanjang yang dicat
dengan motif batik (133,9 meter). Rekor MURI kedua diperoleh tahun ini
karena Palbatu memiliki jumlah rumah warga yang paling banyak dicat
dengan motif batik. Total sekitar seratus rumah.
Dari mana
datangnya kampung batik di Ibu Kota? Seorang pencinta batik bernama
Ismoyo W Bimo sempat terinspirasi dengan konsep Kampung Batik Laweyan
di Solo. Pendiri komunitas Batik Banget ini ingin membuat satu wilayah
kampung batik di Jakarta.
Idenya didengar oleh Iwan Darmawan,
yang kemudian mengenalkannya kepada Harry Domino. Bersama satu teman
lain bernama Safri, keempat pria ini pun mengadakan acara Jakarta Batik
Carnival di Palbatu pada 21 dan 22 Mei 2011.
"Saat itu kami
mengundang 16 pengrajin untuk datang ke Palbatu, mengadakan pameran,
sekaligus mengenalkan batik kepada warga sekitar," kenang lelaki yang
akrab disapa Bimo itu kepada Kompas Female seusai pembukaan Jakarta Batik Carnival 2012.
Sebagai
kelanjutan dari kesuksesan Jakarta Batik Carnival 2011, Bimo dan
teman-temannya melanjutkan misi untuk membangun Kampung Batik di
Palbatu. Ide mereka mendapat dukungan dari warga, tetapi tak sedikit
pula yang menentangnya.
"Kami coba cat satu rumah warga dengan
motif batik, akhirnya yang lain ingin dicat juga. Jadi merembet ke
semua rumah. Itu yang pro. Kalau warga yang kontra karena menganggap
konsep kampung batik nantinya akan membuat kebisingan dan limbah
canting yang merusak lingkungan," ungkap Bimo.
Bimo dan
teman-temannya pun menjelaskan kepada warga bahwa tidak akan ada
kebisingan yang mengganggu ketenangan warga karena kegiatan mencanting
akan berpusat di sanggar-sanggar. Selain itu, proses pewarnaan dan
pencelupan batik tidak dilakukan di Palbatu, tetapi oleh perajin batik
di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.
"Anak-anak warga di sini
belajar mencanting di sanggar. Saat ini sudah ada dua sanggar, yakni
Sanggar Cantingku dan Sanggar Setapak. Anak-anak itu tahu prosesnya
kain batik sampai pewarnaan dan pencelupan, tetapi praktiknya tidak di
sanggar. Jadi, warga tidak perlu khawatir lagi dengan isu limbah
canting," kata Bimo.
Setelah warga menerima konsep kampung batik
yang ditawarkan Bimo dan teman-temannya, konsep ini kemudian disepakati
oleh 13 rukun tetangga (RT) dari 15 RT di wilayah Palbatu. Selama
satu tahun, sudah dua RT rumah warga yang dicat dengan motif batik,
masing-masing RT terdiri dari 50-an rumah. Tahun ini, rumah-rumah di
lima RT lainnya akan dicat dengan motif batik. Sisanya akan terus
dilanjutkan tahun-tahun berikutnya.
"Kami berharap, dua RT lagi
bisa menyetujui konsep kampung batik ini sehingga seluruh wilayah
Palbatu bisa menjadi kampung batik sebesar Laweyan di Solo. Saat ini
saja, sudah ada 7 gerai batik yang dibangun setelah konsep kampung
batik ini diterapkan," tambah Bimo.
Batik Betawi
Menurut
Bimo, dipilihnya Palbatu sebagai wilayah penerapan konsep kampung
batik di Jakarta merupakan hal yang tepat. Ia menuturkan, dalam
sejarahnya, Palbatu merupakan titik persinggungan antara
Setiabudi-Karet-Semanggi-Benhil-Tanah Abang-Palmerah, yang dulunya
merupakan tempat produksi batik Betawi.
"Sekarang wilayah-wilayah
itu sudah jadi pusat kegiatan komersial, jadi saya rasa tepat jika
kami memilih Palbatu sebagai wilayah untuk melestarikan budaya
Indonesia," ujar Bimo.
Bagi Bimo, membangun kampung batik di
Palbatu merupakan perjuangan kecil yang bisa dilakukannya bersama
teman-temannya untuk melestarikan budaya di Jakarta yang megapolitan.
Jika tahun lalu mereka hanya berempat, kini semua warga Palbatu sudah
membuka diri untuk membantunya membangun konsep kampung batik. Upaya
itu juga didukung oleh Yayasan Nalacity yang telah mengirimkan tenaga
untuk mengadakan Jakarta Batik Carnival 2012. Ada pula tambahan sponsor
dari perusahaan AkzoNobel Decorative Paints Indonesia (PT ICI Paints
Indonesia), yang dikenal sebagai penyedia cat premium Dulux.
"Harapan
saya dengan adanya kampung batik ini adalah warga bisa mengerti
mengapa batik harganya mahal karena pembuatannya sulit. Namun,
sesulit-sulitnya pembuatan batik, ini adalah warisan nenek moyang
ratusan tahun lalu, yang harus kita lestarikan hingga seratus tahun
kemudian," kata Bimo.
Editor :
Laksono Hari W
Tidak ada komentar:
Posting Komentar